Wanita dalam pandangan Suku Asmat
Populasi suku
Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek,
cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai
selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di
antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Profil wanita Suku Asmat |
Suku Asmat menempatkan perempuan sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat.Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar dari dunia luar.
Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku
tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan
anak-anaknya,mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada
mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari
hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat
masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk
keperluan minum keluarga.
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati
makanan yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.Kadang suami
membuat rumah atau perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau
menemani istrinya mencari kayu bakar.Sayangnya mereka hanya benar-benar menemani.Mendayung
perahu,menebang kayu,dan membawanya pulang adalah tugas istri.Suami yang cukup
berbaik hati akan membantu membawakan kapak istrinya.
Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan,maka
istri akan menjadi korban luapan kemarahan.Jika mereka kalah judi,maka istri
pula yang akan dijadikan obyek kekesalan.Mereka kini
terbiasa pula untuk mabuk,mereka lebih rentan untuk mengamuk,sehingga istripun
yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir,jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta.Ketika laki-laki mengukir,maka tugas perempuan akan
semakin bertambah.Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain
yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir.Semakin
lama laki-laki mengukir,semakin banyak pula makanan yang harus mereka
sediakan.Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,karena harus
memangur,meramah,dan mengolah sagu,dan bahkan menjaring ikan,lebih tragisnya
lagi,jika ukiran itu dijual,maka uangnya hanya untuk suami yang
membuatnya,perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya
menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan
selesai dibuat.(Dewi Linggasari,2004,Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup
Perempuan Asmat.Yogyakarta : Bigraf Publishing,bekerjasama dengan Yayasan
Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation.Hal.22).
0 komentar:
Posting Komentar